
-
#SMASATANGSE
Ketika Aku Mengenalmu
(Snowy dan Slowly)
Tuhan
memiliki caranya untuk mempertemukan 2 insan yang tak pernah saling mengenal.
Saat itu usia seorang gadis sederhana dan biasa namun mempesona itu hamper
menginjak 20 tahun yang sedang menempuh pendidikan di salah satu universitas.
Saat itu, di tahun pertama semester ke-2 kisah cerita manis tak terlupakan itu
dimulai.
(Berlari).
“Aduh…terlambat
deh ni. Mati aku”, gumamnya.
Seorang
gadis berpakaian gamis dan berkerudung berlari dengan paniknya menyusuri
pekarangan kampus.
“
Marin!” panggil seorang gadis lain
Oh
ya, perkenalkan namaku Marin.
“
Aduh syukur deh belum terlambat”.
Selalu…begitu.
Tertolong kamu, karena dosen kita izin terlambat dating. Beliau ada urusan
penting.
(Nyengir)
“
Sudah selesai tugas belum?”.
“Astaghfirullah
Yun…aku lupa”, sambal menepuk jidatnya.
(Memutar
bola mata)
“
Bagi ya…saling tolong-menolong. Lagian kalau urusan matematika angkat tangan
deh…kalo bisa angkat kaki, suadah aku lakuin”.
“
Ya lah tu…”.
“
Terima kasih Yu chan”.
Mereka
pun masuk kelas untuk menyelesaikan tugas.
“
Kumpul, kumpul tugasnya !” teriak Komisaris kelas
“Akhirnya
selesai”, sambal meletakkan tugasnya dan tersenyum lebar mengisyaratkan hati
yang lega.
“
Senang deh yang sudah kumpul tugas”, sahut Yuni.
“
Tenang Yun…tidak mutlak 100% sama kok, paling 85% gitu” sambal cekikikan.
(
Tet…tet…tet…)
Bel
pertanda istirahat telah berbunyi. Semua orang berhamburan dari kelas mencari
tempat persembunyian masing-masing. Hanya ada beberapa orang saja yang tinggal
di dalam kelas. Maklum beberapa di antaranya adalah mahasiswa ekonomi
pas-pasann
“Yun…setelah
ini, kelas kita pisah ya?’.
“
Iyalah. Memangnya kenapa?”.
“Gak
ada sih…hanya saja kehilangan belahan jiwa sebentar itu terasa lama sekali”.
“
Jijik”.
Sedang
asyik-asyiknya mereka mengobrol tiba-tiba dating sekumpulan anak laki-laki ke
kelas mereka layaknya boyband berbicara dengan salah seorang mahasiswi di kelas
itu yang mencuri perhatian mereka berdua. Setelah sekumpulan anak laki-laki itu
berlalu dari pintu, tetapi ada sepasang bola mata yang belum mengedipkan dan
beralih pandangannya.
“
Maya…! Chubby yang manis nan baik hati, tadi itu siapa?”.
“
Oh, yang tadi Marin? Abang letting kami”.
“
Jurusan Matematika?”.
“
Iya”.
“
Siapa namanya?”.
“
Yang mana? Ada 6 orang tadi kan?”.
“
Heh Marin, kenapa nanya-nanya? Kok jadi penasaran gitu?” Tanya Yuni.
(Menggeleng).
Bel
masuk telah berbunyi. Para mahasiswa bergegas keluar dari persembunyiannya dan
masuk ke kelas masing-masing. Dosen pun atang dan memberikan ceramah dengan
segudang materi yang dapat meninabobokan seluruh penghuni kelas. Terlihat di
sudut kelas, Marin terlihat begitu focus dan serius memikirkan sesuatu.
“
Kira-kira siapa namanya ya? Letting berapa? Fb-nya apa? Bagaimana orangnya ya?
Pokoknya aku harus tahu” Bathinnya.
Ternyata
dia masih memikirkan anak itu. Matanya bolak-balik menatap jarum jam di dinding
berusaha menyuruhnya agar cepat berlalu. Namun waktu malah mengejek dengan
bunyi detik yang berjalan.
(Tet…tet…tet…)
Tak
perlu lama bagi Marin untuk merapikan buku-bukunya, karena memang tak satu pun
ada di atas meja. Dia langsung menyambar meja Maya secepat kilat.
“
Maya…” sambal nyengir.
“
Pasti mau Tanya lagi ya?”
(Mengangguk
cepat)
“
Itu lho May, yang tadi berbicara dengan kamu”.
“
Oh…itu. Dia letting 2011, seorang komting. Lumayan pendiam dan suka menyendiri
gitu”.
“
Uuuuhhh…” makin penasaran.
“
Namanya, namanya siapa?”.
“
Aku tidak tahu namanya. Aku cari tahu dulu ya, nanti ku kabari”.
“Oke”.
Tiba-tiba…
“
Marin…!” (sambal menggenggam tangannya)
“
Eh kirain kamu udah pulang duluan, Yun”.
“
Enggaklah. Ada apa lagi? Msih tanyain soa tadi?”.
(Tersenyum
penuh arti).
“
Alah gak penting! Dosa Marin…”.
“
Yun, gak semua orang bisa mencuri pandanganku”.
“
Kita pulang yuk, masak di kos aku aja”, ajak Yuni.
Marin
yang berjalan di belakang Yuni pesis seperti bebek yang mengikuti induknya.
Dengan langkah yang santai, mereka pun sampai.
“
Eh Rin, kamu itu terlalu kelihatan sekali terpesonanya”.
“
Terserah deh. Pokoknya waktu aku lihat itu orang, aku bisa senyum sendiri tanpa
sebab”.
“
Malu tahu dilihat orang. Cewwk tuh gak boleh gitu. Tundukkan pandangan Rin”,
nasihatnya.
“
Tahu Yun…tapi aneh aja. Baru pertama kali lihat tapi padanganku tak bisa
dialihkan”.
“
Alasan. Sudah kita makan dulu”, potong Yuni.
Keesokkan
harinya, langit yang biru cerah dan sinar mentari yang hangat membasuh wajah
Marin yang tersenyum sempurna. Semangat yang menjadi pendukungnya setiap hari
menjadikan gadis itu terlihat mengagumkan.
(Berjalan
sambal berdendang kecil).
Dengan
raut wajah yang tersenyum riang sambal menoleh kanan dan kiri, tiba-tiba dia
mematung seperti melihat hantu.
“
Itukan…itukan si cowok kemarin. Ya ampun…aku gak salah lihatkan?” desisnya.
Teriakkan
yang tertahan di hati mengakibatkan jantungnya terasa ingin melompat dari
posisinya. Sikapnya menjadi tak karuan, dirinya hanya mematung menatap
seseorang yang kini mendekat ke arahnya.
“
Aduh… harus bagaimana ini? Tidak mungkin larikan? Atau aku harus sapa ya?
Senyum aja kali ya? Aduh apa yang harus ku lakukan?” bathinnya.
(Mendekat,
melirik dan pergi)
“
Ya ampun…apa yang barusan aku lakukan? Kok badan ini cuma diam kaku? Mengapa
gak bergerak sedikit pun?” gerutunya.
Sesampainya
di lokasi tujuan, Marin mengedarkan pandangannya ke sekeliling penjuru. Hatinya
menciut begitu tak didapatkan yang dicari, tetapi ada yang mendekatinya dari
belakang.
“
Marin…”, mengagetkan
“
Aaaaaaa!!” teriaknya.
“
Sedang apa Marin? Kok gak masuk, malah dipintu?” Tanya Yuni.
“
Nah, aku sedang mencari kamu. Ternyata baru datang”.
“
Ada apa? Kok seperti melihat hantu gitu?”
“
Lebih dari hantu yang ku lihat tadi di depan ruang jurusan matematika”.
“
Kalau itu sih, sudah bisa ditebak. Marin…jangan pacaran!”.
“
Gak pacaran Yun, hanya saja sulit dijelaskan”.
“
Ya sudah, coba ceritakan”.
“
Tadi itu saat aku sedang jalan melewati ruangan jurusan matematika, dia berdiri
di sana. Terus, dia berjalan ke aarahku dan melirik aku sekejap dan pergi
berlalu”, jela Marin bersemangat.
“
Iya terus kenapa? Kan basa aja kejadian begitu. Semua orang juga seperti itu,
jika di depannya ada orang juga dilirik”.
“
Alah…” (menunduk lesu).
Saat
mereka sedang asyik mengobrol, seseorang menyapa dan membuat mata Marin
berbinar-binar
“
Hai Rin, Yun”, tegur Maya.
“
Maya…ibu periku”, balas Marin sumringah.
“
Marin, aku sudah tahu namanya. Nama abang itu…Irham”.
“
Irham?”
“
Iya. Panggilannya I-am. Aku dengar dih orangnya seperti es abadi kutub Selatan”.
“
Oooh…”, ( mengangguk).
“
Sepulang kuliah, bukannya berganti pakaian, Marin malah buru-buru mencari
sesuatu di lemarinya.
“
Laptop laptop laptop, di mana laptopku?”, gumamnya
“
Nah, ini dia”.
Tak
butuh waktu lama menghidupkannya, terlihat di layar bertuliskan ‘Facebook’.
Langsung saja jari-jemarinya dengan lincah bermain di atas papan berwarna hitam
dihiasi huruf-huruf abjad. Matanya yang melotot tak berkedip sedetik pun
mencari nama yang membuatnya teringat setiap saat.
“
Kok tidak ada ya?”gumamnya sedikit kecewa.
“
Segini banyak , gimana mencarinya?”
Tak
mau berputus asa, dia memejamkan matanya sebentar, kemudian…
“
Ketemu!!! Yee…”, teriaknya kegirangan.
Setelah
menemukan orang yang dicari, Marin pun membuka data-data milik Irham satu
persatu.
“
Ada nih nomor Hp-nya. Apa aku telepon aja ya?”
“
Jangan deh, di chat aja”, punkasnya.
“
Assalamu’alaikum. Irham mahasiswa metematika letting 2011 ya?”
Dengan
jantung yang berdebar, Marin pun memberanikan diri untuk mengirimkan pesan.
Wajahnya pucat dan kaku, menunggu balasan di seberang. Cemas, khawatir dan
takut menjadi satu.
“
Iya. Kenapa?”
“
Tidak ada, Cuma ingin jadi teman saja” (sambal melonjak bahagia).
“
Ooh, ya. Kamu siapa?”
Bak
tersambar petir di siang bolong. Dia belum memikirkan jawaban atas pertanyaan
seperti itu. Marin pun kebingungan, sejenak ia berpikir dan menemukan
jawabannya.
“
Aku… JANNATUL IZZA, mahasiswi kimia letting 2012”.
“
Oh. Apakah kita pernah ketemu? Dan harus panggil apa?”
(Terperangah)
“
Pernah. Panggil aja Anna”.
“
Baiklah. Tapi saya gak kenal”.
Bukannya
kecewa dengan hal tersebut, malah membuat Marin kegirangan dapat mengobrol
dengan Irham.
“
Ternyata walaupun dingin tapi dibalas juga pesanku”, gumamnya dengan senyum
simpul
Setiap
pulang kuliah atau sedang membuat tugas, tak lupa Marin selalu memata-matai
keseharian Irham. Obrolan mereka pun menjadi rahasia dari orang lain bahkan
Yuni sekali pun.
“
Hei Marin…tumben hari ini tidak WOW”.
“
Ya kan gak harus tiap hari. Lagian tugas lab banyak banget, mana bisa
ketawa-ketiwi”.
“
Bagaimana tuh sama Irham matematika?”
“
Kan sudah tau namanya, ya sudah”, pungkasnya.
Marin
menyembunyikan kejadian itu dari Yuni, khawatir nanti sahabatnya itu akan heboh
jika mengetahuinya. Dimana pun dan kapan pun Irham lewat, mata Marin selalu
saja bisa menangkapnya
Saat
Irham sedang merasa jatuh, Marin selalu saja menyemangatinya, tak pernah absen
sehari pun.
“
I-am semangat…”.
(Emoticon)
“
Optimis ya…aku tau kok kamu in syaa Allah bisa menghadapinya. Tidak ada satu
masalah pun di luar kekuatan seseorang. Allah tau kok batas kemampuanmu”, tulis
Marin panjang lebar.
Namun,
semua pesan yang ditulisnya hanya mendapat emoticon. Tapi, tak pernah sekali
pun ia merasa kecewa. Senyumnya selalu saja mengembang setiap hari walau hanya
sebatas ‘dibaca’.
Hingga
suatu hari, saat pulang kuliah yang melelahkan, hanya desahan panjang
menyertainya, tiba-tiba Hp-nya berbunyi. Tetapi, tak ada nama pengirimnya.
“
Nama kamu Jannatul Izza kan? Mengapa kamu selalu mengirimkan pesan untukku?
Mengapa kamu tetap mengirim pesan padahal tak sekali pun aku membalas dengan
benar? Aku juga tak pernah menanyakan tentangmu tetapi kamu masih saja mengirim
pesan. Aku yang cuek dan dingin kepada orang lain khususnya yang tak ku kenal,
biasanya orang-orang akan berhenti dengan sendirinya dengan sikapku. Mengapa
kamu tidak? Padahal aku tak mengenalmu, tapi mengapa aku merasakan rasa tulus
saat membacanya? (IRHAM)”
Betapa
terkejutnya Marin saat melihat nama pengirim di akhir kalimat pesan tersebut.
Segala perasaan dan emosi bercampur aduk . Ada rasa bahagia dan terharu saat
membacanya. Tanpa sadar tetesan air mata jatuh.
“
Mengapa aku menangis?” desisnya.
“
Padahal semua yang dikatakannya benar, tapi mengapa?”
Jutaan
pertanyaan menghampiri di otaknya bersemayam di hatinya dan kini ia mulai
mencari jawaban atas semua pertanyaan itu. Entah siapa yang memerintahkan,
jari-jemarinya mulai menari di atas papan segi empat kecil.
“
Kamu benar memang namaku bukan Jannatul Izza, tapi selain dari itu taka da hal
yang ku sembunyikan darimu. Aku hanya tidak ingin kamu tahu namaku. Mungkin
bukan kamu tak mengenalku, hanya saja kamu tak tahu siapa aku dan kamu tak
sadar bahwa aku selalu ada di sekelilingmu. Melihatmu dari kejauhan dengan
radarku hinnga kamu lepas dari penglihatanku. Aku pun tak tahu mengapa selalu
mengirimkanmu pesan, padahal balasanmu sungguh keterlaluan. Namun, aku yakin
sepenuh hatiku jika sebeku apapun es pasti akan mencair dan sekeras apapun batu
pasti akan pecah. Dan setiap mengirimkanmu pesan, aku bisa tersenyum. Tetapi
jika itu semua tak mengganggumu, ‘Snowy’”.
Perasaan
Marin jauh lebih baik setelah mengirim balasan itu kepada seseorang yang
istimewa baginya. Entah apapun balasannya tetapi itulah yang sungguh ingin ia
katakana.
Setelah
tidur sejenak menghilangkan rasa lelah dan penat dari beratnya kehidupan, Marin
mentap Hp-nya dan terlihat ada satu pesan belum terbaca.
“
Irham?” gumamnya.
“
Terimakasih. Aku sangat senang memiliki teman spertimu. Tapi mengapa kamu
dating terlambat dan di saat yang tidak tepat ‘Slowly’?”
“Balasan
yang diterima membuatnya melonjak seketika, matanya melotot dan menjadi bersemangat.
Hatinya menjadi membara, wajahnya pun memerah. Betapa senangnya dia saat itu.
“
Baiklah kalau begitu, mulai sekarang kita berteman. Aku akan selalu ada untuk
mendengar ceritamu. Tak apa terlambat daripada tidak sama sekali”.
Mulai
hari itu Marin selalu berdendang kecil setiap melakukan aktivitasnya, ditambah
lagi setiap hari mereka berdua akan selalu memberi dukungan dan semangat.
Padahal baru beberapa hari mengenal, tetapi seperti telah bertahun-tahun.
Mereka juga memutuskan untuk memanggil Snowy dan Slowly satu sama lain.